THE HIGHEST RESULT OF TOLERANCE IS RESPECT AND SOCIAL
RELATIONS
Oleh dr. Gamal Albinsaid
Bismillahirrahmanirrahim...
Dua hari lalu, sebelum saya menerima penghargaan Empowering
people Award dari Siemens di Jerman, salah seorang panitia mendatangi saya
untuk menanyakan cara bersalaman diatas panggung karena pimpinan mereka adalah
seorang wanita. Mereka menghormati ketika tahu saya tidak bersalaman dengan
wanita karena tidak ingin bersentuhan dengan yang bukan muhrim saya. Saya cukup
menempelkan kedua tangan saya, lalu menyapa mereka tanpa menyentuh tangannya.
Mereka mengatur itu diatas panggung agar saya merasakan kenyamanan. Itulah toleransi.
Di perjalanan ke Inggris untuk kunjungan ke 15 perusahaan,
pernah saya menaiki pesawat yang tidak menyediakan makanan halal. Setelah saya
sampaikan kepada mereka saya hanya bisa makan makanan halal, mereka mencari
sebuah mie instan yang memiliki label halal untuk saya. Itulah toleransi
Ketika saya harus presentasi di California University yang
bersamaan saat shalat Jumat, saya minta panitia menggeser jam presentasi kami,
karena saya ingin melaksanakan Salat Jum’at disana. Mereka mengijinkan
menggeser waktu presentasi saya. Itulah toleransi.
Ketika makan malam dengan pangeran Charles di Istana
Buckingham, mereka mengatur supaya saya mendapatkan makanan untuk vegetarian
agar saya merasa nyaman. Itulah toleransi.
Di berbagai pengalaman itu, saya merasakan dan menyimpulkan
bahwa bentuk toleransi adalah hormat. Bagi saya “The highest result of
tolerance is respect and social relations”, toleransi itu adalah bentuk
penghormatan kita pada perbedaan yang ada. Mulai dari hal yang kecil seperti
makanan, cara berpakaian, cara beraktivitas, sampai hal yang besar soal agama,
kitab suci, dan prinsip Ketuhanan.
UNESCO dalam publikasinya “Tolerance : The Threshold of
Peace” menyatakan social relations adalah salah satu indikator dari suksesnya
toleransi di sebuah masyarakat. Oleh karenanya hasil dari toleransi adalah
kenyamanan individu dan keharmonisan sosial.
Mau tidak mau, pemimpin berperan besar dalam menjaga,
membangun, dan menciptakan toleransi yang baik. Tidak boleh pemimpin itu masuk
atau memberikan komentar terhadap agama, kitab suci, prinsip Ketuhanan, dan
cara beribadah sebuah agama.
Peran pemimpin itu penting sekali dalam toleransi yang kita
bangun. Kita rindu pemimpin yang mampu menyejukkan perbedaan kita dalam
kesantunan, menciptakan keharmonisan diantara perbedaan dengan sikap saling
menghormati dalam cinta kasih. Bukan pemimpin yang tidak mempedulikan perbedaan
yang ada, menciptakan ketegangan dengan menghina agama, melecehkan kitab,
membatasi cara beribadah. Seorang pemimpin harus menghormati agama yang berbeda
dengan tidak menilai atau mengomentari agama, tidak mengomentari kitab suci,
dan tidak mengomentari cara beribadah. Lalu bagaimana keharmonisan bisa hadir
jika pernyataan mengarah pada pelecehan atau penghinaan pada kitab suci dan isi
kitab suci?
Teruntuk Pak Ahok, Before you say something, stop and think
how you’d feel if someone said it to you. Sungguh menyakitkan jika anda
merasakan bagaimana yang kami rasakan sebagai umat Islam, kitab yang kami baca
tiap hari, kami jadikan pegangan hidup, kami hafalkan, kami baca saat banyak orang
tidur, kami pelajari bertahun-tahun, lalu dengan mudahnya anda sebut sebagai
alat melakukan kebohongan. Apakah Pak Ahok pernah menempuh jurusan tafsir
hingga merasa berhak menafsirkan Alquran seenaknya? Pak Ahok, jangan hina kitab
suci saya hanya untuk kepentingan politik anda! Tidak ada sedikitpun kebohongan
dalam Alquran! Hormati Alquran kami!
“Don’t get so tolerant that you tolerate intolerance”(Bill
Maher).
Kita tidak boleh mentoleransi sebuah keintoleransian.
Jangan salah mengartikan toleransi, “Tolerance does not mean
tolerating intolerance”. Saya sebenarnya tidak suka menuliskan atau memberikan
tanggapan soal permasalahan politik, tapi nasehat Ayaan Hirsi Ali bahwa
“Tolerance of intolerance is cowardice (mentoleransi sebuah intoleransi adalah
sikap pengecut)” cukup memantapkan hati saya untuk tidak diam. Gagasan
toleransi Ayaah Hirsi Ali itu sama dengan apa yang dikatakan Haji Abdul malik
Karim Amrullah atau yang biasa kita kenal dengan Buya Hamka, “Jika agamamu,
nabimu, kitabmu dihina dan engkau diam saja, jelaslah ghiroh telah hilang
darimu…. Jika ghiroh telah hilang dari hati, gantinya hanya satu, yaitu kain
kafan. Sebab kehilangan ghiroh sama dengan mati…..”,
Ya ! Jika diam saat agamamu dihina, gantilah bajumu dengan
kain kafan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar